Jumat, 10 Juli 2009

Nenek Pengumpul Sampah Plastik dan Ibu

Ada seorang nenek yang tiap subuh lewat di depan rumahku. Selepas waktu shalat subuh, nenek yang sudah bungkuk itu pasti lewat dengan menenteng kantong plastik besar warna hijau. Kantong itu berisi gelas-gelas bekas air mineral, mungkin juga botol-botol plastik. Tapi biasanya hanya berisi gelas-gelas bekas. Kadang nenek itu berjalan sendiri, kadang bersama seorang nenek lain. Tapi paling sering dia jalan sendiri. Entah dari mana hingga ke mana dia berjalan. Kami sekeluarga sudah hapal betul dengan nenek itu. Hingga suatu saat keluargaku akhirnya bisa “berkenalan” dengannya. Awalnya mamaku yang menegurnya. Mama mulai bertanya dimana rumahnya, dia berjalan hingga ke mana, berapa anaknya, mengapa hingga setua itu masih saja bekerja sekeras itu.

Dan sejak itu, kami selalu memberikan sekantong gelas-gelas air mineral jika kebetulan di rumah habis ada acara. Paling sering ya kalau kemarinnya ada arisan di rumah. Hingga suatu saat salah seorang kakak iparku yang paling kalem, lembut, dan pendiam sampai harus mengejar-ngejar sang nenek hanya untuk memberikan sekantong sampah plastik itu. Waktu itu mamaku memang sudah niat akan memberikannya ke si nenek. Namun ternyata dia sudah lewat jauh dan mamaku tidak melihatnya lewat. Karena niat yang sudah bulat :) maka kakak iparku itulah yang mengejarnya. Lucu juga melihatnya.

Melihat orang lain yang mungkin nasibnya tidak seberuntung kita, selalu membuatku merasa bersyukur sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya kepadaku dan keluargaku. Yah kami memang bukan keluarga kaya, punya rumah besar dan indah, mobil bagus, dan harta lain yang selalu diidentikkan dengan ukuran kekayaan seseorang. Tetapi bagiku, kami sudah masuk kategori sejahtera. Bisa makan layak sehari-hari, punya sumber penghasilan tetap, dan tentu saja tidak sampai harus mengemis atau mengutang kanan kiri hanya untuk membeli beras. Kami tidak harus berjalan kaki berkilo-kilo seperti nenek tadi. Ya Allah bukan ingin takabur, sekali lagi saya hanya ingin mensyukuri apa yang sudah kami miliki.

Melihat nenek itu mengingatkanku pada figur seorang ibu. Ibuku yang beberapa tahun lagi jika berumur panjang juga akan setua itu. Sedih jika ibu kita sendiri harus bernasib seperti itu. Kemana anak-anak yang dulu susah payah diasuhnya ? Ya Allah jangan sampai hamba menjadi anak yang menelantarkan orang tuaku. Namun begitulah sifat seorang ibu yang tulus. Walaupun anaknya sudah mapan, mandiri, dewasa, dan seharusnya berganti peran membahagiakan dan melayani orang tua, namun ibu tetap saja tidak mau merepotkan anak-anaknya. Padahal bukan hal yang buruk jika seorang ibu ingin dilayani dan dirawat oleh anak-anaknya. Ibuku pun kadang seperti itu. Bukannya mau merepotkan anak-anaknya malah mau berepot-repot untuk anaknya, hingga kami sebesar ini. Ah membicarakan tentang ibu memang tidak akan pernah ada habisnya. Lihatlah betapa bangganya kita memiliki ibu kita masing-masing. Satu hal yang mungkin sering terlupakan, bagaimana ibu berdoa untuk kita. Ibu tidak pernah membeberkan apa-apa saja isi doanya untuk kita. Tapi kuyakin itu adalah pintanya kepada Allah agar kita diberi kebahagiaan selalu.

Saya teringat ucapan seorang teman kerja mamaku di OK Obgyn RSUD Labuang Baji, “Hana, mamamu itu hebat. Doa-doanya makbul, selalu dikabulkan Allah”. Saya cuma tersenyum. I love you, Mom…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar