Rabu, 28 Agustus 2013

Kabar Apa ?

0 komentar
Sudah lama sekali tidak posting. Tentu saja banyak hal yang sudah terjadi. 2 hal yang paling penting telah terjadi dalam sejarah hidupku hehe kata-katanya…
Menikah di tanggal 20 November 2011 (20-11-2011)
Melahirkan anak pertama tanggal 22 September 2012
Anakku laki-laki, lahir dengan berat 2,750 kg dan panjang 47 cm melalui proses persalinan normal. Lahir jam 01.35 dini hari kalau tidak salah 
Cerita tentang momen melahirkan memang seru apalagi pengalaman pertama. Syukurlah Allah memberi banyak kemudahan. Padahal sempat pesimis, karena postur tubuhku yang mungil kupikir panggulku sempit sehingga mesti operasi. Ternyata tidak. Don’t judge Book by The Cover kira-kira begitu ya. Prosesnya pun terbilang cepat. Tak ada suntikan  induksi yang katanya sakitnya saat kontraksi bisa dua kali lipat.
Di kamar bersalin saya didampingi mama, bukan suami hehe. Sebenarnya suami ada cuma pergi ke toilet. Begitu kembali, pintu sudah ditutup dan sudah tidak bisa masuk. Tapi tak masalah, mamaku yang seorang pensiunan bidan lebih tenang dibanding suami. Suami malah sesekali bikin panik  Ketuban pecah saat bukaan 8. Tidak lama setelah itu dokternya datang, pake sarung tangan, set set set… mungkin menggunting atau apa, dan… keluarlah IMAM AHMAD SYAHIM BANTENG.

Rupa Imam waktu baru lahir


Setelah 4 bulan
8 bulan


BANTENG itu marga suami saya ya, jangan sampai ada yang salah mengerti . Cerita lainnya di postingan berikut deh. Efek lama berhibernasi, mesin belum panas jadi masih malas menulis 

Senin, 14 Februari 2011

Sepotong Hikmah

2 komentar
Allah SWT, Tuhan yang menciptakan langit dan bumi memang Maha Segalanya. Dia brilian. Dia tahu apa yang diperlukan hambaNya, walau itu mungkin tidak diinginkan.

Ini terlintas di benakku saat membaca sebuah novel dengan tokoh utama seorang gadis kecil berambut merah, Anne yang tidak menarik secara fisik bahkan terkesan aneh karena pikirannya penuh dengan imajinasi yang sangat luas. Namun di balik keanehannya itu ia telah menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Ibu dari anak kecil itu sebelumnya sempat melarang anaknya yang lain bermain dengan si gadis berambut merah itu karena sebuah insiden akibat dari kecerobohannya. Anne of Green Gables judulnya.

Baiklah tidak akan saya ceritakan seluruh isi novel itu. Yang terpikir olehku adalah… betapa hal yang sangat buruk pun bagi seseorang bisa membawa kebaikan bagi orang itu. Anne yang sangat aneh dan selalu mengoceh tentang khayalannya, yang bagi banyak orang dewasa sangat tidak lazim ternyata bisa melakukan tindak penyelamatan terhadap batuk sesak yang hampir merenggut nyawa anak si ibu yang sempat membencinya.

Dari isi novel itu, pikiranku kemudian beralih ke pengalaman hidup ibu kosku yang sudah 5 tahun menikah belum memiliki anak. Beliau adalah seorang wanita muda (setahun di bawah umurku) yang penyayang terhadap anak-anak. Padahal kalau dipikir, dari sifat penyayangnya itu beliau sudah sangat pantas menjadi seorang ibu. Tapi kenapa ya Allah belum juga memberinya anak ? Allah mempunyai rencanaNya sendiri. Kita tidak bisa mengetahui persis. Namun pikiran sederhanaku berkata, mungkin salah satu hikmah yang Allah ingin perlihatkan adalah biarlah sang ibu kos menyebarkan begitu banyak kasih sayang kepada anak-anak di sekitarnya terutama yang tidak mampu. Saat ini bapak dan ibu kosku baru saja merawat seorang bayi perempuan berusia 6 hari. Sejak 1 bulan sebelum lahir ibu anak itu tinggal bersama kami hingga sekarang. Rencananya anak itu akan mereka diadopsi.

Sementara banyak wanita yang kalau dilihat dari perilakunya, masih perlu banyak belajar untuk menjadi ibu yang penyayang dan telaten mengurus anak malah telah diberi kepercayaan oleh Sang Pencipta. Lagi-lagi pikirku, Dia punya rencana. Saya teringat artis Tamara Geraldine. Sewaktu masih kuliah saya pernah melihat berita tentang dia di sebuah infotainment (hehehe waktu belum insyaf, nonton infotainment). Ketika diwawancara dia mengatakan ketika masih lajang, dia termasuk perempuan yang jauh dari sifat penyayang terhadap anak kecil malah terkesan galak. Cukup dengan satu tatapan mata melotot saja anak kecil dijamin langsung takut :). Namun sifat itu berubah ketika dia menikah dan punya anak. Sifat galak berubah menjadi wanita yang penyayang dan hangat terhadap anak-anak.

Saat ini, tulisan ini lah yang terlintas di benakku. Saya senang mencari-cari hikmah apa yang ada dari kejadian yang saya atau orang-orang di sekitarku alami. Mungkin terkesan mengkait-kaitkan, paling tidak hikmah inilah yang membuatku tidak menyesali setiap hal kurang menyenangkan yang terjadi padaku.

Kamis, 07 Oktober 2010

Om Inyo Telah Pergi

10 komentar

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis artikel tentang Tante Reni dan suaminya Om Inyo yang sedang sakit. Hari Senin lalu tepatnya tanggal 4 Oktober 2010 akhirnya Om Inyo dipanggil Allah SWT. Sebelumnya sekitar seminggu beliau memang sakit, hanya terbaring di tempat tidur. Dalam kurun waktu sejak artikel Tante Reni yang pertama hingga empat hari lalu itu Om Inyo tidak sepenuhnya sakit. Ada saat beliau dalam keadaan sehat sehingga bisa berjalan-jalan dan bercerita dengan orang-orang.

Pernah suatu kali saat saya ke warung untuk membeli makanan sepulang dari kantor, Om Inyo yang sedang duduk-duduk di warung menegur saya. Beliau bertanya apa saya sudah menikah. Si bapak pemilik warung yang menjawab, ”Belum” sambil bercerita panjang lebar tentang siapa orang yang sedang dekat dengan saya (seolah dia lebih tahu dari saya sendiri, hehehe). Om Inyo lalu kemudian bercerita bahwa beliau punya ( atau pernah) punya pacar seorang gadis Jerman. Katanya gadis itu masih muda dan cantik. Ya ya ya tentu saja kami yang mendengar tak percaya. Laki-laki usia lanjut ini memang dikenal kurang waras, sama seperti istrinya. Tapi bualan beliau cukup menghibur sambil menemaniku menunggu makanan yang akan kubeli siap untuk dibawa pulang. Ketidakwarasan beliau dan istrinya sampai saat ini tidak pernah membuatku kesal. Saya justru iba dengan pasangan lansia ini. Padahal sang istri Tante Reni kerap terlibat pertengkaran bahkan perkelahian dengan sesama ibu-ibu di kampung ini. Di artikel Tante Reni sudah saya sebutkan tentang itu. Namun sampai sekarang saya masih tidak habis pikir mengapa orang-orang masih saja tersulut emosinya mendengar omongan Tante Reni yang jelas-jelas tidak waras. Tapi sudahlah mungkin karena Tante Reni belum pernah bersikap buruk padaku, semoga akan tetap seperti itu.

Om Inyo pergi dalam keadaan yang memprihatinkan. Tak ada yang tahu persis jam berapa beliau menghembuskan napas terakhirnya. Tak satu pun orang yang mendampinginya. Tante Reni sang belahan jiwa sekalipun. Yang pasti sekitar jam 4 sore saat Tante Reni kembali ke ”pondok” tempat tinggal mereka, sang suami sudah dalam keadaan kaku, mulut dan mata terbuka. Bahkan di wajahnya terlihat beberapa ekor semut. Jika saja si istri dalam keadaan sepenuhnya waras, ia mungkin akan menunggui suaminya seharian. Entah Tante Reni kelayapan kemana seharian itu. Ada yang bilang ke kebun memetik kangkung, ada yang bilang malah pergi menjaga orang lain yang sakit. Tante Reni... Tante Reni...

Mungkin ada yang bertanya tidak waras kok masih bisa menjaga orang sakit dan beraktifitas layaknya orang normal. Yah ketidakwarasan beliau bukan seperti orang gila yang hanya bisa duduk menatap kosong dengan penampilan acak-acakan seperti yang biasa kita lihat di jalan. Baik Tante Reni maupun Om Inyo memang masih seperti orang normal, hanya saja sedikit kacau hehehe. Maaf definisi saya juga tampaknya kacau. Entahlah saya tidak menguasai ilmu kejiwaan. Tapi itulah yang tampak di mata saya.

Malam saat jenazah Om Inyo masih disemayamkan di rumah Abah Nangki (ayah dari bapak kos saya, beliau termasuk orang yang dituakan di kampung), akhirnya saya melihat dua orang sanak keluarga dari Tante Reni. Beliau memperkenalkan seorang bapak sebagai saudara Om Inyo, dan seorang lagi cucu dari Tante Reni dan Om Inyo. Saya tak tahu pasti apa itu cucu kandung atau bukan. Menurut ibu kosku sih bukan. Selama ini tak pernah terlihat ada keluarga dan kerabat yang datang mengunjungi mereka. Walaupun nanti setelah Om Inyo meninggal baru ada yang datang, itu tetap patut disyukuri daripada tidak sama sekali.

Selamat jalan Om Inyo, walaupun Tante Reni kadang berkata sangat kasar beliau tetap akan merindukan Om Inyo. Karena cuma Om Inyo yang selalu di sampingnya...

Jumat, 02 Juli 2010

Ban

18 komentar
Ada satu istilah yang dipakai orang Manado sehari-hari yang sampai dua tahun ini kadang-kadang masih membuat otakku loading sepersekian detik untuk memahaminya. Bola. Kata itu yang otakku kenal sejak pertama adalah benda bulat yang biasa dipakai dalam beberapa cabang olahraga. Yang paling populer adalah sepakbola. Yah saya tidak punya Kamus Besar Bahasa Indonesia jadi definisi yang benar secara tata bahasa di Indonesia tidak dapat kucantumkan.

Orang Manado menyebut ban kendaraan dengan nama “bola”. Sampai sekarang masih terasa aneh di telingaku. Ingin rasanya ku protes,”Jangan pakai istilah bola donk.. Bingung nih. Otakku harus loading dulu untuk akhirnya mengerti bahwa yang kalian maksud itu adalah ban, bukan bola yang biasa ditendang itu”. Hehehehe tapi siapa saya ? Cuma penduduk pendatang masak mau larang-larang orang pakai bahasanya sih.

Bapak dan ibu kos yang belum mempunyai anak itu baru saja membeli sebuah sedan Toyota second hand. Karena harganya yang sangat murah maka wajar kalau banyak bagian yang mesti diganti, salah satunya ban yang sudah gundul. Kemarin kami sempat ngobrol tentang rencana mereka keluar jalan-jalan malam minggu dengan mobil “baru” itu. Mereka mengajakku. Bapak kos kemudian nyeletuk,”Tapi mesti beli bola dulu nih.”

Lagi-lagi otakku loading…

Kenapa harus beli bola dulu ? Sambil membayangkan benda bulat di lapangan hijau. Apalagi ini masih dalam suasana Piala Dunia. Gambaran bola lalu buyar, berganti dengan tabloid Bola yang tentu saja masih berhubungan dengan olah raga sepakbola. Oh bola yang itu mungkin. Otakku kemudian berpikir lagi… Aha! Bukan bola itu!! Ban baru maksudnya!!! Hehehe dialog ini terjadi dalam sepersekian detik saja. Jadi saya tidak sampai terlihat bloon karena kebingungan di depan mereka.

Saya teringat ketika SD dulu. Pada suatu waktu, ibu guru bertanya,”Anak-anak… siapa yang bisa menyebutkan apa fungsi bank?”.

Beberapa teman angkat tangan.

Seorang menjawab,”Sebagai tempat menabung, bu!!”.

“Salah!”, ibu guru menjawab.

“Tempat menyimpan uang, bu!!”.

“Masih salah!”, kata sang ibu lagi.

Beberapa anak masih berusaha menjawab dengan jawaban yang bernada sama. Dan semua… Salah. Kami semua bingung, terus apa donk jawaban yang betul ? Pikir kami. Ibu guru pun akhirnya mengatakan jawaban benar seperti mengerti kebingungan murid-muridnya. “Fungsi bank adalah agar kendaraan dapat berjalan…”. Kira-kira begitulah isi jawaban ibu guru. Kami spontan saling berbisik,”Ssst oooh maksudnya BAN?”.

Tak satu pun dari kami yang protes. Mungkin karena dua hal. Pertama, kami tinggal di Sulawesi Selatan. Salah satu ciri khas dari dialek masyarakatnya (Bugis, Makassar, Mandar) adalah tambahan “G” di akhiran kata-kata yang normalnya berakhiran “N” atau “M” seperti kata BAN di atas. Jadi kami maklum saja dengan kesalahan itu, hehehe. Alasan kedua adalah waktu itu tahun 90-an. Murid-murid pada masa itu belum sekritis jaman sekarang. Untuk hal (kalau bisa dibilang) sepele seperti itu, tak perlu diprotes. Paling tidak ini menurut kami yang masih duduk di kelas 6 SD pada masa itu.

Wajar saja ya kalau saya pernah mendengar cerita ada orang asing yang mencoba belajar Bahasa Indonesia, mengaku kebingungan. Katanya Bahasa Indonesia untuk satu makna saja kata yang digunakan banyak. Bingun'.

Jumat, 21 Mei 2010

Salam Dariku

5 komentar
Assalamu'alaikum...
Apa kabar kawan-kawan yang sudah sudi berkunjung ke blogku yang sederhana ini. Yah walaupun blog ini tidak seperti blog-blog lain yang canggih-canggih dan keren-keren (hehehe), yang punya pengunjung setia menunggu postingan baru dari penulisnya. Saya tetap ingin menyapa anda semua. Terima kasih ya.

Maaf nih buku tamunya sudah berbulan-bulan belum diganti. Bukannya tidak perduli atau mengabaikan. Sebenarnya ingin sekali saya menggantinya dengan yang lain, tapi karena beberapa alasan hingga sekarang belum juga terlaksana. Alasan yang paling tepat adalah kesibukan pekerjaan yang cukup menyita waktu. Sebagai seorang amatiran di dunia blog, saya butuh banyak waktu untuk mengutak-atik blog kecilku ini. Bahkan jika hanya ingin menerbitkan postingan baru sekalipun. Sebenarnya saya sudah meminta bantuan seorang teman untuk mengganti buku tamu saya ini, tapi tampaknya ia pun punya kesibukan. Dan tentu saja saya harus mengerti itu.

Sedih rasanya tidak bisa berkunjung balik ke blog teman-teman yang sudah singgah kesini. Jadinya saya cuma bisa mengunjungi blog teman-teman yang sudah berkomentar di postingan saja. Jadi untuk sementara jika teman-teman singgah lagi, kalau boleh saya meminta komentar saja ya di postingan. Supaya blognya bisa kukunjungi.

Terima kasih atas pengertiannya

Salam

Hana

Senin, 08 Februari 2010

Tante Reni

9 komentar
Saya tidak tahu pasti umurnya berapa. Entah siapa yang pernah melihat tanggal lahir di kartu tanda pengenalnya. Jika ditebak dari perawakan mungkin umurnya lima puluhan. Giginya sudah banyak yang tanggal sehingga pipinya terlihat kempot. Saat berbicara mulutnya terlihat kosong alias ompong. Rambutnya pendek mirip-mirip potongan ala Demi Moore. Sebelah matanya cacat. Kata orang itu karena ia pernah dilempar ember oleh seseorang yang kesal padanya hingga melukai matanya. Pakaiannya serampangan. Terkadang ia memakai celana sebatas lutut hingga urat-urat varises di kakinya yang menonjol terlihat jelas.

Tante Reni namanya. Ia hanya tinggal berdua dengan sang suami yang akrab dipanggil Om Inyo. Namanya sebenarnya Om Sinyo. Nama bagus-bagus disingkat jadi Inyo, hehehe. Kondisi Om Inyo tak beda jauh dengan Tante Reni. Gigi ompong, penampilan serampangan tak terurus. Umurnya mungkin sudah enam puluh tahun lebih. Tak banyak yang tahu pasti apa mereka pernah memiliki anak. Menurut orang-orang di kampung tempatku tinggal ini, mereka berdua agak kurang waras. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa diajak berkomunikasi. Mereka cukup bersosialisasi. Om Inyo sering dibayar dari mengedarkan kotak-kotak sumbangan di kampung. Sedang Tante Reni sering diberi uang ala kadarnya karena ia sering membantu-bantu penduduk kampung seperti memetik tangkai cabe sebelum diolah atau mencuci piring.

Tante Reni sering terlibat perkelahian dengan ibu-ibu di kampung ini. Meskipun sedikit kurang genap (istilah ibu kosku), Tante Reni “lihai” berkata-kata yang bisa membuat orang sakit hati. Tabiatnya inilah yang membuat sebagian orang kurang simpatik padanya. Mata dilempar ember itupun salah satu akibat dari kekesalan orang. Sejak saya tinggal di kampung ini, sudah beberapa kali saya mendengar Tante Reni berteriak-teriak sebagai indikasi bahwa ia sedang bertengkar dengan ibu-ibu lain. Tante Reni sering emosi menjawab dengan kata-kata yang tidak enak saat hanya sekedar disapa. Sering menuduh orang hal yang tidak-tidak. Bahkan kadang memfitnah. Mereka berdua sampai “terbuang” dari keluarga konon karena perilaku Tante Reni yang jahat.

Saya sering berpikir, jika sudah tahu Tante Reni kurang waras mengapa diladeni bertengkar ? Sudah banyak orang yang tersulut emosinya karena kata-kata tajam si tante ini. Mengapa tidak dicuekin saja ? Saya mungkin mudah saja berkata seperti ini karena belum pernah tersakiti oleh ucapan Tante Reni. Sejauh ini sikapnya padaku baik-baik saja. Tiap saya lewat di depan warung tempat ia biasa membantu-bantu atau hanya sekedar duduk-duduk, Tante Reni selalu menegur dan menyapaku dengan sebutan Mbak. Orang-orang di kampung ini sebagian memanggilku dengan sebutan itu, meskipun saya bukan orang Jawa. Mungkin karena saya tinggal dengan ibu kos yang orang Jawa dan akrab dipanggil Mbak.

Sudah seminggu ini Om Inyo terbaring di rumah sakit. Hidungnya berdarah. Entah diagnosanya apa. Katanya Om Inyo meminum obat penghilang pegel linu dalam dosis yang berlebih. Ia sampai harus didonor darah sebanyak lima kantong. Kami datang menjenguk setelah beberapa hari Om Inyo dirawat. Waktu itu belum satu pun keluarga mereka yang pernah datang. Bapak dan ibu kosku, serta keluarga bapak kosku sesekali datang menjenguk dan mendampingi Tante Reni mengurus keperluannya seperti membeli obat dan saat mencari donor darah.

Miris juga melihat pasangan ini. Hanya ada Tante Reni yang mendampingi. Dua lembar resep obat belum juga ditebus. Ketika ditanya mengapa belum ditebus, katanya apotek tutup. Seorang ibu di sebelah mengatakan apotek tidak tutup. Obat sirup yang harusnya diminumkan dua sendok tiap kali minum, hanya diminumkan satu sendok. Tante Reni tidak paham aturan minum obat ini. Mungkin karena tidak bisa membaca. Saat Tante Reni menyuapkan obat sirup itu, beberapa tetes jatuh ke kasur tanpa seprei yang ditiduri Om Inyo. Tante Reni lalu membersihkannya dengan sarung lusuh entah bersih atau tidak. Sedih melihatnya.

Kabar terbaru kondisi Om Inyo sudah mendingan. Ia mendapat donor darah dari penduduk kampung. Semoga cepat sembuh Om Inyo. Dan Tante Reni... Bagaimana ya biar ia tidak suka bikin orang emosi lagi ? :)

Kamis, 21 Januari 2010

Pengalaman Ke Pulau Di Ujung

5 komentar
Akhirnya masuk kantor lagi setelah 3 minggu berada di “luar”. 2 minggu kupakai berobat sekaligus liburan di Makassar. Sepulang dari Makassar, hanya tidur 2 malam di kamar kos lantas harus berangkat lagi ke Kabupaten Kepulauan Talaud selama 4 hari.

Sebagai pendatang di Sulawesi Utara, saya sangat antusias ketika kebagian kabupaten ini. Teman-teman yang mengkoordinir memang sudah tahu saya sangat menginginkan bisa kesana. Sebenarnya ada satu lagi kabupaten yang juga ingin kudatangi yaitu Sangir. Tapi Sangir sudah dibooking oleh teman yang punya keluarga di sana. Dibanding Sangir, Talaud lebih jauh. Pulau ini letaknya (katanya) 180an km lagi sudah sampai di Filipina. Inilah salah satu kenapa saya ingin bisa menginjakkan kaki disini. Saya cuma ingin “menjelajah”. Katanya perjalanan kesana jika dilakukan di bulan Desember – Januari cukup riskan. Mengingat cuaca yang kurang baik. Salah-salah bisa terdampar di Filipina. Seperti itu kira-kira ucapan mereka.

Rombongan kami ada 11 orang, wanita cuma 2 yaitu saya dan ibu Tineke. Kapal motor yang kami tumpangi berangkat jam 5 sore. Tiba jam 1 siang keesokan harinya. Ini tergolong sangat lambat. Kapal kami sampai dilambung oleh kapal lain yang berangkat dua jam lebih lambat dari kami. Penyebabnya adalah satu dari dua mesin kapal mati. Hanya sebagian kecil penumpang yang tahu tentang ini. Itupun karena salah satu penumpang yang seorang kapolsek bertanya ke kapten kapal. Penumpang mulai gelisah bertanya saat kapal kami sudah dilambung itu. Ibu Tine bahkan bertanya ke kapten, “Kep, so mo sampe minggu ini torang ?” yang bisa diartikan ,”Kep, kita sampenya minggu ini kan ?”. Ini diceritakan beliau saat sudah di darat. Syukur juga saya tidak tahu masalah kerusakan mesin itu. Bisa-bisa sepanjang malam saya gelisah memikirkan keselamatan kami. Kadang-kadang tidak banyak tahu menguntungkan juga ya…

Ketika kapal sudah sandar di pelabuhan, perasaanku lega. Akhirnya mendarat juga, pikirku. Namun ternyata… kami harus naik speed boat lagi ke pulau yang merupakan letak kecamatan Melonguane dan Beo. Melonguane merupakan pusat pemerintahan kabupaten Talaud yang juga adalah tempatku ditugaskan selama 4 hari ke depan. Dari Melonguane menempuh perjalanan darat selama 1 jam untuk sampai ke kecamatan Beo. Sedangkan kecamatan Lirung yang merupakan tempat tugas dua temanku, letaknya di pulau lain. Ini berarti harus naik speed boat lagi. Oh my God, pikirku. Ini saja saat sampai di penginapan di Melonguane badanku masih oleng.

Keadaan kota kecamatan Melong (biasa disebut lebih singkat seperti ini) yang sudah menjadi pusat pemerintahan saja sudah begini sepinya. Saat kami keluar jam 7 malam, keadaan sudah sepi. Toko-toko dan warung makan banyak yang tutup. Benar kata temanku yang juga hanya mendengar dari orang kalau kota di Talaud ini seperti kota mati. Pak Lody salah satu temanku berkata,”Adoh mo mati kita tinggal disini. Pe sepi skali…”. Saya sih santai saja. Mungkin karena terlalu antusias. Yang penting ada air bersih, dan makanan halal. Asal jangan kelamaan juga sih. Rindu mall soalnya, hehehe.

Entah ada berapa masjid di kota ini. Sepertinya cuma satu itupun jauh dari penginapanku. Makanya suara adzan tak pernah terdengar. Tiap maghrib hanya ada suara house music yang sangat keras layaknya di diskotik yang diputar di rumah di depan penginapanku. Arah kiblat pun saya tidak tahu. Tidak ada kompas dan penunjuk arah kiblat seperti yang ada di hotel-hotel di Sulsel tempatku dulu. Saat bertanya arah barat ke penjaga penginapan, ia menunjuk dengan ragu-ragu. Yah mudah-mudahan saja betul.

Alat transportasi utama masyarakat disini adalah bentor alias becak motor. Tidak ada mikrolet seperti di Manado. Pengemudinya banyak pendatang seperti orang Jawa dan Makassar. Sebenarnya jarak satu tempat ke tempat lain cukup dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Cuma berputar-putar saja.

Mengenai kuliner, layaknya di daerah lain di Sulawesi Utara ikan tetap mendominasi. Namun ada juga menu lain yaitu ayam seperti di warung makan ayam kalasan milik orang jawa yang kudatangi. Biarpun makanan jawa, pengaruh Sangir sudah sangat terasa yaitu di sambalnya yang… wauw dahsyat pedasnya. Ibu Tine yang masih keturunan Sangir saja masih kewalahan. Beliau sampai berkomentar,” Ni rica bukan main. Cabu-cabu nyawa”. Saya hanya tertawa sambil mengiyakan. Walaupun sudah hampir dua tahun di Manado, kadang-kadang saya masih sering merasa lucu mendengar istilah-istilah masyarakatnya.

Setelah tugas kami sebagai Senior Teacher (ST) dalam Pelatihan Master Teacher Intel-Getting Started untuk guru-guru daerah terpencil selesai, kami pulang dengan memilih pesawat. Sebuah pesawat kecil yang kapasitas penumpang sekitar 40 orang saja. Harga tiketnya lumayan mahal Rp 600.000,-. Tiket kapal kami sewaktu datang untuk kelas VIP Rp 330.000,- sedangkan kelas ekonomi hanya Rp 165.000,-. Tiket pesawat Manado-Makassar pun masih lebih murah yaitu 400 hingga 500-an pada harga normal. Kami memilih perjalanan udara karena ketika kami akan pulang cuaca semakin buruk. Berita di televisi menunjukkan badai dan ombak besar di wilayah timur Indonesia. Alhamdulillah penerbangan lancar, sekitar 45 menit sudah sampai.

Kapan-kapan jika ada kesempatan saya ingin ke pulau Sangir. Walaupun Talaud yang lebih dekat ke Filipina tetapi Sangir lebih ramai dibanjiri barang-barang dari Filipina. Katanya di Sangir ada pulau yang merupakan pintu masuknya barang-barang selundupan dari Filipina. Saya penasaran saja ingin melihat keadaan pulau dan kotanya.