Senin, 13 Juli 2009

Mengajar Anak-anak

Sehabis membaca SPIRIT tabloid terbitan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Depdiknas, saya jadi rindu mengajar anak-anak lagi. Melihat ekspresi anak-anak kampung di sampul tabloid ini jadi ingin mengajar mereka. Tahun 2007 saya pernah menjadi guru les privat dua anak. Satu anak kelas 2 SMP dan yang seorang lagi kelas 2 SD. Kedua muridku ini memang bukan anak kampung seperti di tabloid. Mereka anak orang mampu, sehingga punya kesempatan untuk didatangkan guru privat ke rumah mereka. Padahal kalau dipikir, tempat mereka memperoleh pendidikan formal adalah sekolah mahal dan kualitasnya sudah sangat dikenal di kotaku. Tanpa les pun nilai baik bisa diraih. Yah ini adalah tujuan kebanyakan orang tua menyewakan guru les untuk anaknya.

Meskipun begitu, kedua muridku dan anak-anak kampung di tabloid itu tetap memiliki persamaan. Sama-sama anak-anak yang masih polos. Bagaimana pun direkayasa kedewasaannya, kepolosan tidak dapat dihilangkan dari mereka. Salah satu yang membuat kangen mengajar anak-anak adalah melihat ekspresi wajah mereka. Bagaimana senangnya ketika mereka berhasil memecahkan jawaban sebuah soal. Bagaimana bangganya mereka melihat keterkejutanku yang seolah-olah tidak menyangka bahwa mereka akan bisa menjawab soal itu. Bagaimana mimik serius mereka saat mengerjakan soal.

Belum lagi tantangan kita sebagai pengajar pribadi bagi anak-anak orang kaya ini adalah saat bad mood datang. Apalagi tempat belajarnya di rumah mereka sendiri. Mereka adalah raja di situ. Mau berbuat apapun sah-sah saja. Pintar-pintar si gurunya saja. Pengalamanku, untuk anak yang kelas 2 SD ini metode bermain sangat tepat. Saat si anak sudah mulai kelihatan bosan, dikasih permainan yang tetap ada materi pelajaran di dalamnya. Waktu itu, muridku ini kuberi Teka-teki Silang (TTS). Kebetulan dia sangat suka permainan ini. Dengan mengisi TTS, saya tetap bisa mengajarinya membaca dan menulis. Untuk muridku yang sudah mulai memasuki usia ABG, mungkin sedikit lebih mudah untuk mengajaknya bekerja sama. Saat kebosanan mulai melanda, saya biarkan dia untuk santai sejenak. Mungkin dengan mendengarkan curhatannya tentang teman-teman, guru yang menyebalkan di sekolah, gebetan, artis remaja idolanya, atau tentang kejadian heboh yang baru saja terjadi di sekolah.
Kalau masalah menjadi pendengar yang baik, juga berlaku untuk muridku yang masih SD itu. Anak laki-laki ini juga senang sekali bercerita tentang apa saja. Saya senang melihat kelucuannya. Mata sipit, badan gendut dengan perut membulat. Badan gemuknya ini sampai membuatnya terengah-engah jika berjalan. Dia senang bercerita tentang teman-teman dan adik perempuannya.

Kalau diberi kesempatan untuk mengajar anak-anak lagi saya mau. Padahal saya ini termasuk orang yang tidak pandai “bergaul” dengan anak kecil. Naluri keibuannya sangat minim :).

4 komentar:

Jagania Karomu.... mengatakan...

iya jenderal...mereka anak2 yang polos :)

Elsa mengatakan...

saya pikir, mungkin pekerjaan sebegai guru taman kanak-kanak maupun guru sekolah dasar adalah pekerjaan yang paling membahagiakan. bagaimana tidak... melihat senyum anak-anak setiap hari, bukankah itu membahagiakan??

Hana Mugiasih mengatakan...

Dan lebih membahagiakan lagi, melihat hasil dari didikan sang guru beberapa tahun kemudian ketika anak-anak itu telah dewasa. Mungkin guru-guru kita tidak sadar betapa kalimat-kalimat yang keluar dari bibir mereka masih membekas di pikiran dan hati sang murid dan tak jarang berpengaruh besar dalam kesuksesannya.

Raras mengatakan...

tetap saja mengajar adlh sesuatu yg teramat sulit untuk kulakukan, jadi salut deh bwt hana yg suka kegiatan ini :)

Posting Komentar